Perlindungan hukum kepada
TKI yang bermasalah
secara hukum di luar negeri masih sangat parsial. Asosiasi
Advokat Indonesia mendesak pemerintah lakukan moratorium
pengiriman TKI ke Arab Saudi dan bahkan ke seluruh Timur Tengah. Selama 2012, 420 TKI terancam hukuman mati, 99
orang di antaranya telah divonis mati.
HUMPHREY DJEMAT sangat prihatin menyaksikan nasib
tenaga kerja Indonesia (TKI). Banyak TKI, populer juga disebut buruh migrant
Indonesia ,
di berbagai negara yang didera masalah hukum di tahun 2012.
Ketua Umum
DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) itu menilai, ribuan warga Indonesia yang
menjadi TKI di luar negeri, dan ditimpa masalah hukum, masih belum mendapatkan
perlindungan secara maksimal dari negara.
“Sepanjang
tahun 2012, negara tidak memberikan perlindungan maksimal kepada para TKI di
luar negeri. Perlindungan kepada TKI yang dilakukan pemerintah masih bersifat
parsial,” ujar Humphrey Djemat, dalam siaran pers Catatan Akhir Tahun DPP AAI yang
diterima TRIAS Politika, akhir
Desember 2012.
Humphrey yang
pernah menjabat Juru Bicara Satgas TKI yang dibentuk pemerintah menjelaskan,
perlindungan TKI yang tidak maksimal terjadi pada tahap perekrutan,
prapenempatan, tahap penempatan di luar negeri, dan tahap purnapenempatan.
Khusus untuk
masalah perlindungan TKI pada tahap purnapenempatan, Humphrey menyoroti peranan
konsorsium asuransi proteksi TKI yang mengecewakan. Para TKI seolah-olah
menjadi sapi perahan bagi pihak konsorsium asuransi.
Apa yang diungkap
Humphrey didasarkan pada pengamatan AAI selama menjalin kerja sama dengan
BNP2TKI. AAI mendapatkan bukti di lapangan ternyata para TKI tidak mendapatkan
klaim asuransinya sebagaimana yang telah diperjanjikan kepada mereka, baik berdasarkan
peraturan Menakertrans maupun berdasarkan polis asuransi yang dibuat.
Selama ini,
kata Humphrey, para TKI kerap mengalami kesulitan dan dibuat tidak berdaya
dalam mengurus klaim asuransinya. Posisi para TKI sangat lemah pada saat
berhadapan dengan pihak asuransi.
Pada saat
diwawancarai oleh pihak asuransi, para TKI tidak dapat menjawab atau
menjelaskan klaim asuransinya tersebut. Para TKI merasakan diwawancara selama
20-30 menit yang dilakukan oleh pihak asuransi merupakan tekanan dan adanya ketidak
nyamanan bagi mereka para TKI. Akibatnya para TKI sebagian besar memilih
"menyerah" untuk mendapatkan klaim asuransinya.
“Seharusnya
pihak asuransi tahu bahwa para TKI itu berhasil pulang ke Indonesia dalam keadaan yang sudah
sangat memprihatinkan. Semua dokumen telah diambil oleh majikannya, bahkan
hanya tinggal baju di badan yang bisa dibawa pulang,” tegas Humphrey.
Berangkat
dari sejumlah permasalahan yang terjadi, AAI merekomendasikan beberapa hal,
antara lain mempercepat revisi UU No. 39 Tahun 2004, menghentikan sistem
perlindungan dengan cara asuransi, dan melanjutkan moratorium pengiriman TKI ke
Arab Saudi.
“Bahkan kalau
perlu moratorium seluruh TKI di Timur Tengah dilakukan karena adanya
perdagangan manusia dengan pengiriman TKI dari satu negara ke negara yang
kena moratorium,” tambah Humphrey yang juga kuasa hukum Sumiati dan Kikim
Komalasari, dua TKI yang disiksa di Arab Saudi.
420 TKI terancam hukuman mati
Dalam catatan Migrant Care,
sepanjang 2012, ada 420 orang TKI yang terancam vonis hukuman mati di luar
negeri, di mana 99 orang di antaranya telah divonis hukuman mati. Vonis hukuman
mati terbanyak diberikan kepada TKI di Malaysia dan Arab Saudi.
“Di Malaysia
ada 351 orang, RRC ada 22 orang, Singapura 1 orang, Filipina 1 orang, dan Saudi
Arabia 45 orang. 99 orang di antaranya telah divonis hukuman mati,” ujar
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, 17 Desember 2012.
Migrant Care
dengan tegas menolak vonis tersebut yang menunjukkan ketidakadilan dan
menyalahi hak hidup bagi setiap orang yang dijamin dalam International Covenant on Civil and Political Rights.
Menurut
Migrant Care, vonis hukuman mati tidak adil bagi TKI dan keluarganya. Ditegaskan,
kasus-kasus ancaman hukuman mati kepada TKI tersebut tidak bisa diselesaikan hanya dengan
pidato dan pembentukan lembaga ad hoc,
melainkan melalui keterlibatan langsung Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dan langkah-langkah diplomasi tingkat tinggi oleh pemerintah.
“Penanganan kasus-kasus hukuman mati itu memerlukan
langkah konkrit dengan menghadirkan langsung Presiden SBY sebagai kepala negara
dan pemerintahan melakukan diplomasi tingkat tinggi,” tegas Anis seraya
mengingatkan bahwa para TKI yang divonis mati justru karena mencoba melindungi
diri dari konflik dengan majikan mereka.
Dari
kasus-kasus yang terungkap, lanjut Anis Hidayah, TKI yang berkonflik dengan
majikan dan mengakibatkan kematian pada majikan adalah karena mereka melakukan
tindakan pembelaan dan mempertahankan diri dari kekerasan yang sering dialami.
Mereka juga melakukan perlawanan dari usaha perkosaan terhadap dirinya.
Migrant Care
juga mempertanyakan keberadaan Satgas Penanganan WNI/TKI yang Terancam Hukuman
Mati yang dinilai tidak mampu menjawab tuntutan publik terhadap beberapa
situasi yang dialami TKI.
Anis menyebut
contoh-contoh kasus seperti Satinah yang tinggal menunggu waktu penetapan
eksekusi karena pemerintah Indonesia
belum juga berhasil membayarkan diyat
(uang denda) untuk pembebasan Satinah dari hukuman mati. Belum lagi
penyelamatan Tuti Tursilawati, Siti Zaenab, Siti Aminah, dan Darmawati yang
juga tinggal menunggu penetapan eksekusi.
Moratorium
pengiriman TKI
Masih
terkait dengan persoalan TKI, Ketua Umum
DPN PERADI Otto Hasibuan menegaskan PERADI akan mengawal kasus dugaan
pemerkosaan terhadap TKW yang terjadi di Malaysia .
Salah satu caranya, ujar
Otto, melalui pertukaran informasi dengan Badan Peguam Malaysia atau The
Malaysian Bar, organisasi profesi untuk pengacara-pengacara Malaysia.
Otto melanjutkan,
pihaknya akan tetap menghormati sistem hukum Malaysia dan tidak akan mencampuri
prosesnya. Jika upaya PERADI dengan Badan Peguam Malaysia tidak membuahkan hasil,
PERADI akan meminta Law Asia untuk
membuat petisi atas kasus ini. Kalau masih belum berhasil juga, permintaan ini
akan ditingkatkan ke IBA.
“Sebagai anggota dari IBA
dan Law Asia, di negara manapun kejadiannya bisa ditangani. Tinggal bagaimana
kita bisa meminta kerja sama dari mereka saja,” terangnya.
Menkumham Amir Syamsuddin mengatakan, pihaknya mendukung
upaya PERADI untuk memberikan perhatian yang maksimal kepada TKI yang
bermasalah hukum di luar negeri. Namun, Menkumham mengingatkan asas
praduga tidak bersalah (presumption of
innocence), yang berlaku universal, tetap harus
dipegang.
Setiap negara, tegas Menkumham,
memiliki kedaulatan hukum dan sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia .
Jika di Malaysia, seseorang yang membantah melakukan suatu perbuatan yang
didugakan kepadanya, tidak boleh langsung ditahan, kecuali tertangkap tangan.
“Berbeda dengan di Indonesia ,
kalau orang diduga memerkosa, bisa langsung diterapkan KUHAP kita yang hebat
itu. Bisa langsung ditangkap dan ditahan selama 110 hari, baru bisa diadili,” jelas
Menkumham.
Walaupun pelaku dugaan
pemerkosaan tidak ditahan, ancaman hukuman pemerkosaan di Malaysia itu
cukup tinggi, jika memang terbukti dalam proses hukum. Hukuman mati juga
berlaku untuk pemerkosaan di Malaysia .
Kasus pemerkosaan TKI itu,
bagi Humphrey Djemat, harus menjadi momentum Pemerintah Indonesia untuk
bersikap tegas dan efektif, agar Pemerintah Malaysia memberikan perhatian
serius dan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku pelanggaran hukum.
“Pemerkosaan seorang TKW
Indonesia oleh 3 polisi Malaysia di Kantor Polisi Bukit Mertajam di
Penang adalah tindakan sangat biadab dan brutal, apalagi dilakukan oleh penegak
hukum yang seharusnya melindungi setiap orang, siapapun latar belakang
kebangsaannya atau profesi pekerjaannya,” cetus Humphrey Djemat, yang juga Chairman pada kantor hukum ternama Gani
Djemat & Partners, dengan nada geram.
“Jangan sampai Pemerintah melakukan tindakan
yang tegas setelah ada istri pejabat Indonesia
atau keluarganya yang diperkosa oleh polisi Malaysia karena pada saat diperiksa
di tengah jalan tidak membawa dokumen identitas diri yang lengkap atau asli.” ❒
(Anis Fuadi, Wakil Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah TRIAS Politika)
Komentar