Anis Fuadi
Pemimpin Redaksi Majalah TRIAS Politika
PAGI menjelang siang, medio Juni 2013.
Sebuah pencerahan benak saya peroleh dengan cara yang sangat sederhana, yakni
menonton pertunjukan wayang kulit. Agak ganjil memang karena lazimnya
pertunjukan wayang kulit digelar pada malam hari. Tapi yang ini pagi hari
Saat akan menjemput putri saya (kelas
1) di SDSN 11 Pagi Kalibata, Jakarta Selatan, dari depan gerbang sekolah
berstandar nasional tersebut, saya mendengar sayup-sayup tabuhan ritmis gamelan
Jawa mengiringi alunan merdu sinden, dan yang paling kentara adalah celoteh sang
dalang menyuarakan dialog di antara wayang-wayang kulit. Saya tertegun sejenak.
Tanpa sadar kedua kaki sudah melangkah ke dalam dan duduk di bagian belakang
aula yang penuh sesak.
Puluhan siswa duduk lesehan sembari mata mereka tertuju pada gerakan
lincah sang dalang serta dan telinga mereka menyimak kata-kata yang terlontar
dari mulut sang dalang. Tawa lepas para siswa seketika meluncur ketika sang
dalang menuturkan kata-kata lucu. Bahkan, sesekali gemuruh sorakan nyaris
mengalahkan suara ki dalang. Kegembiraan terbersit jelas di wajah para siswa.
Dengan membawakan lakon “Dewa Amral”, sang dalang ingin menyampaikan
pesan moral kepada para siswa tentang persaudaraan yang hakiki.
Acungan jempol patut saya persembahkan
kepada sang dalang. Sang dalang yang, menurut hemat saya, sangat komunikatif
dan interaktif dengan audien (para siswa SD) hari itu. Tawa dan sorakan siswa
jelas menyimpulkan bahwa dialog demi dialog yang sang dalang sajikan bisa
dicerna oleh para siswa dengan mudah.
Menariknya lagi, usut punya, sang
dalang (Ki Danan Wisnu Pratama) ternyata masih berstatus pelajar kelas 2 SMP.
Dia pernah pentas dua kali di hadapan Presiden SBY yaitu pada peringatan Hari
Anak Nasional (2006) dan acara HUT TMII (2007), serta berpredikat satu dari 5
besar Penyaji Terbaik dalam Festival Dalang Bocah Tingkat Nasional (2012).
Satu pihak lainnya yang perlu diberikan
apresiasi adalah Museum Wayang Indonesia (MWI). Pertunjukan wayang hari itu
adalah bagian dari rangkaian road show MWI ke sekolah-sekolah di Indonesia .
Membumikan wayang
Pengalaman pertama kali menonton
pertunjukan wayang kulit pada hari itu memberikan pemahaman baru bagi saya
pribadi. Pertunjukan wayang kulit (dengan tokoh utama sang dalang dan
wayang-wayang yang dia mainkan lakonnya masing-masing lewat tuturan) adalah
media efektif untuk menanamkan nilai-nilai moral (moralisasi) hidup kepada para
generasi penerus, anak-anak negeri harapan bangsa.
Di tengah fenomena dekadensi moral
generasi muda Indonesia dewasa ini, akibat ketidaksiapan mental mereka
merespons hegemoni teknologi informasi (internet) yang telah merasuki segenap
relung pikiran mereka, metode bertutur dengan media wayang kulit sebagaimana
diperagakan oleh sang dalang cilik Ki Danan semestinya ditumbuh-kembangkan
secara intensif dan berkelanjutan.
Apalagi, kita mengetahui, wayang adalah
warisan budaya bangsa Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan resmi dari Unesco, lembaga PBB yang
membawahi kebudayaan, pada 7 November 2003 sebagai Masterpiece
of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Warisan Mahakarya Dunia yang Tidak Ternilai dalam Seni Bertutur).
Pertunjukan
bayangan boneka (wayang) di Indonesia
memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri,
yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia . Jadi, tidak aneh bila, PBB sendiri
menetapkan Wayang Indonesia
sebagai warisan dunia yang patut dilestarikan.
Di samping itu,
ada begitu banyak pesan moral (budi pekerti)
dimiliki bangsa ini yang dapat ditebarkan ke seantero negeri ini melalui media
wayang. Terlebih, bangsa ini punya segudang cerita (yang diturunkan dari para
leluhur kita) tentang kepahlawanan, persaudaraan, persatuan, gotong royong, dan
kasih sayang.
Wayang Indonesia bukan hanya wayang Jawa, melainkan juga wayang Bali,
wayang golek Sunda, wayang Palembang, wayang Lombok, dan lain-lain. Karenanya,
sungguh disayangkan apabila wayang tidak dimanfaatkan.
Wayang sebagai “Karya Agung Budaya Dunia” jangan hanya dijadikan
kebanggaan semu bangsa ini. Wayang harus dibumikan dengan kreativitas dan
inovasi serta kemauan para pemangku kepentingan dunia perwayangan untuk
‘mengindonesiakan’ wayang.
Sekali lagi, pertunjukan wayang sangat pantas direkomendasikan sebagai
media tuturan, penyampai pesan moral bagi anak-anak negeri ini yang profilnya
saat ini tengah dilanda dekadensi kronis, sampai-sampai –konon saking parahnya
dekadensi moral generasi muda Indonesia —
mendorong Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. M. Nuh membuat Kurikulum
Pendidikan 2013 yang bertujuan penguatan nilai-nilai moral pada anak didik.
{Tulisan ini dimuat di Majalah TRIAS Politika, edisi 01-15 Juli 2013}
Komentar